CERPEN
Perempuan di Simpang Tiga
Karya
K.Usman
Tiba di simpang tiga , gadis belia itu teringat permintaan
fotografer tua , tetangga barunya senja kemarin. Dia diminta menjadi foto model
berlatarbelakang mesjid, di tepi pantai. Permintaan itu sungguh tidak pernah
diduganya. Setelah berpikir cukup lama, dia meminta pertimbangan kepada
neneknya, satu-satunya orang di rumahnya.
“Sebaiknya Kemala
menolak permintaan itu dengan santun”, kata Nenek Jamilah .
“Mengapa tidak
boleh, nek? Jadi foto model bisa terkenal, kan?” tanya Kemala heran.
“Pokoknya pendapatku begitu,”jawab Nenek Jamilah tegas.
“Tapi, kasih tau
aku , apa alasan Nenek melarang?”
“Pokoknya ,
pendapatku begitu, Titik!”
Kemala mengatakan , jadi foto model itu halal, Dia tidak perlu
melepas busana Muslimah termasuk jilbab saat di foto. Foto itu untuk kalender
tahun depan. Semua foto berlatarbelakang mesjid di berbagai daerah.”Jadi, apa
salahnya, Nek?” tanya Kemala penasaran.
“ Tidak ada lagi
jawaban untuk pertanyaan macam itu,”tukas Nenek Jamilah. “Ambil air wudhu, berdoa, lalu kita tidur sekarang, ya ?”
Minggu pagi,
seperti biasa, Kemala olahraga. Setelah satu jam lari berputar-putar di
kompleks perumahan itu, dia berhenti di simpang tiga . Sejalur jalan di
belakangnya ramai anak-anak yang bermain sepatu roda dan sepeda. Kemala menjadi
yatim piatu setelah ayah-ibunya meninggal dalam kecelakaan lalu lintas di luat
kota. Ketika itu , umur Kelala tiga tahun. Sejak saat itu, Kemala hidup bersama
Nenek Jamilah, pensiunan guru SMA. Kakek Dullah hilang diculik orang tidak
dikenal setelah terjadi tragedy berdarah di Tanah Air pada tahun 1965.
“Nek, ceritalah
tentang Kakek Dullah,”kata Kemala pada suatu malam. “Kakekmu itu adalah lelaki
yang rendah hati, pendiam, tapi cerdas dan kritis. Sebagai jurnalis yang berani
dan jujur, dia menulis secara kritis pula berdasarkan investigasi yang
dilakukannya. Nah , pada masa itu, jurnalis yang kritis dimusuhi. Kakekmu
diculik orang tidak dikenal. Mungkin sekali karena sikapnya itu. Namun nenek
bangga kepadanya. Sebab, dimasa itu,
dapat dihitung dengan jari orang yang berani, jujur, dan kritis.”
Agak lama, Kemala
berdiri di simpang tiga sambil memikirkan kata-kata Nenek Jamilah. Pasti ada
alasan yang tersembunyi , pikir Kemala
tentang larangan neneknya. Akan tetapi , siapakah fotografer yang sering mengaku-ngaku
sebagai seniman foto itu? Pertanyaan itu menggelisahkan Kemala. Lelaki tua yang
bertubuh kurus agak bungkuk itu selalu ramah kepada siapa saja. Dia dermawan
kepada orang kampung kumuh yang miskin
di seberang sungai kecil di sebelah timur kompleks. Jadi, apa alasan Nenek
Jamilah melarangku menjadi foto modelnya?
Ketika matahari
mulai meninggi, Kemala meninggalkan simpang tiga. Tergesa-gesa dia pulang.
Tubuhnya menjadi peluh.
“Ketemu siapa
tadi, Mala?” sapa Nenek Jamilah setibanya Kemala di rumahnya.
“buaaanyaaak, Nek,” jawab Kemala.
“Bayi di kereta,
para lansia, sampai gadis gadis cantik, dan pemuda – pemuda tampan,” lanjut
Kemala.
“Senang , dong?”
“iyalah. Asyik!”
Setelah
istirahat, mandi dan sarapan ketupat sayur pakis serta telur. Kemala sarapan
pagi kedua , yakni membaca tiga Koran Nasional edisi Minggu. Khususnya untuk langganan
Koran, majalah, dan uang kuliah, Kemala membayar sendiri dari hasil memberi les
privat Bahasa Inggris dan Matematika . Nenek Jamilah merasa bahagia karena
cucunya mulai belajar mandiri.
Baru dua Koran
edisi Minggu yang selesai dibaca Kemala, seniman foto tua itu dating lagi untuk
kesekian kalinya. Seperti kedatangannnya yang sudah-sudah , katanya menyambung
tali silaturahmi dengan tetangga. Setiap lelaki berusia tujuh puluh tahun itu
muncul, Nenek Jamilah hanya menemuinya sebentar. Selebihnya, Kemala yang
menemaninya ngobrol.
“Menyebalkan,”kata
Nenek Jamilah setelah lelaki tua yang
banyak bicara itu pamitan. “Mengulang
cerita sukses masa lalu adalah ciri-ciri kegagalan seseorang di masa
kini,”lanjut Nenek Jamilah sinis.
“Nenek membenci
seniman foto tua itu?” Tanya Kemala.
“Tidak benci sama
sekali, tapi aku tidak suka saja sama dia”
“Mengapa nenek
tidak menyukainya? Lantaran dia banyak
omong ? Atau karena dia selalu
mengulang-ulang masa suksesnya di masa silam itu? Wajar, nek jika seseorang berkisah
tentang sukses masa lalu. Masa sih, bercerita tentang keberhasilan masa depan!
Itu namanya masih impian, bukan?” Kemala
berkata sambil tertawa-tawa, menggoda neneknya. Saat Nenek Jamilah
menjemur bantal di belakang , cepat Kemala mendekati neneknya.
“Mau menggoda apa
lagi, hem?”Tanya Nenek Jamilah.
“Aku tahu,
mengapa nenek tidak suka pada seniman foto tua itu,”kata Kemala .
“Cinta Nenek
ditolaknya, ya? Ha ha ha!” Pecah gelak tawa Kemala pagi itu.
“Tak uus,
ya?”balas Nenek Jamilah “Sejak muda , aku tidak menyukainya.”
“Tapi ,
ketidaksukaan ada alasanya dong , Nek!”.
“Tidak perlu!”
Malam minggu
berikutnya, batuk-batuk fotografer tua itu makin sering saja. Saat tidur pulas,
dengkung-dengkus batuknya memecah keheningan malam. Nenek menggerutu. Kesal
berat dia.
“TBC dia barangkali!”
kata Nenek Jamilah seraya ke kamar mandi. Dia berwudhu dan salat tahajud .
Kemala mengikutinya tanpa berkatah sepatah pun.
Paginya , Kemala
lari pagi seperti biasa dan berhenti di simpang tiga lagi setelah lelah. Gadis itu menyukai simpang tiga yang
dinaungi batang jadi tinggi berdaun rimbun. Di sana, dia menghirup udara segar
dan dapat memandang ke segenap arah. Di samping tiga itu pula, Kemala selalu
bertanya, mengapa Nenek Jamilah selalu sinis kepada fotografer tua itu? Mengapa
pula, nenek melarangku menjadi modelnya?.
“Aku tidak butuh
uang dari dia, puuuh!”kata Nenek Jamilah sambil pura-pura meludah suatu pagi,
ketika Kemala menyebut-nyebut uang honorarium sebagai model.
Ketika setibanya
di rumah pagi itu, Kemala terkejut saat melihat rumah sang fotografer tua
dikunjungi banyak orang. Mobil-mobil parker di halaman rumahnya. Nenek Jamilah
sudah di rumah itu. Kemala langsung menuju ke sana. Fotografer tua yang hidup
sendiri itu meninggal dunia sehabis Subuh. Tukang cuci pakaiannya yang datang pagi itu mengetahui kematiannya.
Dokter langganan
sang fotografer tua itu datang setelah ditelpon ketua RT. Stroke adalah
penyebab kematiannya, di samping kanker paru-paru yang sudah lama parah. Begitu kesimpulan dokter. Ketua RT pula yang
bercerita bahwa almarhum tetap lajang sampai akhir hayatnya.
Nenek Jamilah dan
Kemala ikut mengantarkan lelaki malang itu ke pemakaman.
“Aku telah ikhlas
memaafkannya,” kata Nenek Jamilah kepada Kemala dalam perjalanan pulang.
Berulang-ulang perempuan keras hati itu menyeka air mata dengan selendang
hitamnya.
“Sebenarnya apa
yang telah dilakukannya kepada Nenek?”
Tanya Kemala . “Dia tidak melakukan apa- apa kepadaku,”jawab nenek.
“Lantas, mengapa
Nenek tidak menyukainya?” desak Kemala setiba di rumah.
Nenek Jamilah
mengatakan , dia mau salat Dhuhu dulu. Setelah itu dia akan menjawab pertanyaan
Kemala. Saat itu, pukul sebelas lewat lima belas menit. Nenek Jamilah mandi di
kamar mandi belakang . Kemala di kamar mandi depan. Mereka salat sunah Dhuha di
kamar masing-masing.
Nama lengkap
fotografer itu adalah Ahmad Dimejad. Semasa muda, dia dan kakekmu bersahabat. Ketika
orang-orang politik mengelompokkan masyarakat jadi terkotak-kotak, hubungan
Ahmad Dimejad dan kakekmu jadi renggang. Bahkan, kedua orang yang semula sohib
itu jadi berseberangan. Terakhir Ahmad Dimejad memfitnah kakekmu. Katanya, kakekmu yang
kritis dan revolusioner itu adalah kader PKI. Buntutnya, pada tahun 1966,
kakekmu diculik orang tidak dikenal dan tidak kembali hingga kini”. Nenek
Jamilah bercerita sambil menyeka air matanya.
Menurut Nenenk
Jamilah, Ahmad Dimejad sakit hati karena
lamarannya ditolaknya. Jamilah memilih kakek Dullah sebagai suaminya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar