Kumpulan
Puisi-puisi Chairil Anwar
AKU
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerajang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mahu hidup seribu tahun lagi
March 1943
Aku (puisi #2)
Melangkah aku bukan tuak
menggelegak
Sumbu buatan satu biduan
Kujauhi ahli agama serta lembing
katanya
Aku hidup
Dalam cacar melebar, barah
bernanah
Dan kadang satu senyum
kukucup-minum dalam dahaga
June 1943
DOA
kepada Pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
Cahayamu panas suci
tinggal kerdip lilin dikelam
sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara dinegeri asing
Tuhanku
dipintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
November 1943
RUMAHKU
Rumahku dari unggun-unggun sajak
Kaca jernih dari segala nampak
Kulari dari gedung lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Dipagi terbang entah kemana
Rumahku dari unggun-unggun sajak
Disini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya
datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
jika menagih yang satu
April 1943
AKU TULIS
PAMPLET INI
Oleh : W.S.
Rendra
Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam
kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng - iya - an
Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan
menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang
Apabila kritik hanya boleh lewat
saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur
tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak
mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli
kekuasaan
Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi
penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan
bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap
kaum Indian.
Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan
termangu.
Aku ingin secara wajar kita
bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju
dan tidak setuju.
Kenapa ketakutan menjadi tabir
pikiran ?
Kekhawatiran telah mencemarkan
kehidupan.
Ketegangan telah mengganti
pergaulan pikiran yang merdeka.
Matahari menyinari airmata yang
berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada
dendam.
Gelombang angin menyingkapkan
keluh kesah
yang teronggok bagai sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.
Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah
saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti
rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit
kembali.
Dan di dalam air lumpur
kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !
Pejambon Jakarta 27 April 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi
DOA
SEORANG SERDADU SEBELUM BERPERANG
Oleh : W.S. Rendra
Tuhanku,
WajahMu membayang di kota
terbakar
dan firmanMu terguris di atas
ribuan
kuburan yang dangkal
Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di
bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang
sia-sia
Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan
sangkurku
Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalanApa
yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu
yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan
sangkurku
Mimbar Indonesia
Th. XIV, No. 25
18 Juni 1960
GERILYA
Oleh :
W.S. Rendra
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan
Angin tergantung
terkecap pahitnya tembakau
bendungan keluh dan bencana
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan
Dengan tujuh lubang pelor
diketuk gerbang langit
dan menyala mentari muda
melepas kesumatnya
Gadis berjalan di subuh merah
dengan sayur-mayur di punggung
melihatnya pertama
Ia beri jeritan manis
dan duka daun wortel
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan
Orang-orang kampung mengenalnya
anak janda berambut ombak
ditimba air bergantang-gantang
disiram atas tubuhnya
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan
Lewat gardu Belanda dengan berani
berlindung warna malam
sendiri masuk kota
ingin ikut ngubur ibunya
Siasat
GUGUR
Oleh :
W.S. Rendra
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut
kotanya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya
Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya
Sesudah pertempuran yang gemilang
itu
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Belumlagi selusin tindak
mautpun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata :
" Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan
yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang
sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan
datang."
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota
Ambarawa
Orang tua itu kembali berkata :
"Lihatlah, hari telah fajar
!
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat
selama-lamanya !
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menacapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata :
-Alangkah gemburnya tanah di
sini!"
Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya
HAI, KAMU !
Oleh :
W.S. Rendra
Luka-luka di dalam lembaga,
intaian keangkuhan kekerdilan
jiwa,
noda di dalam pergaulan antar
manusia,
duduk di dalam kemacetan
angan-angan.
Aku berontak dengan memandang
cakrawala.
Jari-jari waktu menggamitku.
Aku menyimak kepada arus kali.
Lagu margasatwa agak mereda.
Indahnya ketenangan turun ke
hatiku.
Lepas sudah himpitan-himpitan
yang mengekangku.
Jakarta, 29 Pebruari 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi
LAGU SEORANG
GERILYA
(Untuk puteraku Isaias Sadewa)
Oleh :
W.S. Rendra
Engkau melayang jauh, kekasihku.
Engkau mandi cahaya matahari.
Aku di sini memandangmu,
menyandang senapan, berbendera
pusaka.
Di antara pohon-pohon pisang di
kampung kita yang berdebu,
engkau berkudung selendang katun
di kepalamu.
Engkau menjadi suatu keindahan,
sementara dari jauh
resimen tank penindas
terdengar menderu.
Malam bermandi cahaya matahari,
kehijauan menyelimuti medan
perang yang membara.
Di dalam hujan tembakan mortir,
kekasihku,
engkau menjadi pelangi yang agung
dan syahdu
Peluruku habis
dan darah muncrat dari dadaku.
Maka di saat seperti itu
kamu menyanyikan lagu-lagu
perjuangan
bersama kakek-kakekku yang telah
gugur
di dalam berjuang membela rakyat
jelata
Jakarta, 2 september 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi
LAGU SERDADU
Oleh :
W.S. Rendra
Kami masuk serdadu dan dapat
senapang
ibu kami nangis tapi elang toh
harus terbang
Yoho, darah kami campur arak!
Yoho, mimpi kami patung-patung
dari perak
Nenek cerita pulau-pulau kita
indah sekali
Wahai, tanah yang baik untuk mati
Dan kalau ku telentang dengan
pelor timah
cukilah ia bagi puteraku di rumah
Siasat
No. 630, th. 13
Nopember 1959
NOTA BENE : AKU
KANGEN
Oleh :
W.S. Rendra
Lunglai - ganas karena bahagia
dan sedih,
indah dan gigih cinta kita di
dunia yang fana.
Nyawamu dan nyawaku dijodohkan
langit,
dan anak kita akan lahir di
cakrawala.
Ada pun mata kita akan terus
bertatapan hingga berabad-abad lamanya.
Juwitaku yang cakap meskipun
tanpa dandanan
untukmu hidupku terbuka.
Warna-warna kehidupan
berpendar-pendar menakjubkan
Isyarat-isyarat getaran ajaib
menggerakkan penaku.
Tanpa sekejap pun luput dari
kenangan padamu
aku bergerak menulis pamplet,
mempertahankan kehidupan.
Jakarta, Kotabumi, 24 Maret 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi
ORANG-ORANG
MISKIN
Oleh :
W.S. Rendra
Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.
Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan
purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di
cakrawala,
mengandung buah jalan raya.
Orang-orang miskin. Orang-orang
berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput
dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.
Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu
bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu
terka.
Jangan kamu bilang negara ini
kaya
karena orang-orang berkembang di
kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai
kucingnya.
Lambang negara ini mestinya
trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu
berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas
memukul mahasiswa.
Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.
Jumlah mereka tak bisa kamu
mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari
gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung
kesenian.
Orang-orang miskin berbaris
sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu
ada,
bagai gerimis yang selalu
membayang.
Orang-orang miskin mengangkat
pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim
Yogya, 4 Pebruari 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi
PAMPLET CINTA
Oleh :
W.S. Rendra
Ma, nyamperin matahari dari satu
sisi.
Memandang wajahmu dari segenap
jurusan.
Aku menyaksikan zaman berjalan
kalangkabutan.
Aku melihat waktu melaju melanda
masyarakatku.
Aku merindukan wajahmu,
dan aku melihat wajah-wajah
berdarah para mahasiswa.
Kampus telah diserbu mobil
berlapis baja.
Kata-kata telah dilawan dengan
senjata.
Aku muak dengan gaya keamanan
semacam ini.
Kenapa keamanan justru
menciptakan ketakutan dan ketegangan
Sumber keamanan seharusnya hukum
dan akal sehat.
Keamanan yang berdasarkan senjata
dan kekuasaan adalah penindasan
Suatu malam aku mandi di lautan.
Sepi menjdai kaca.
Bunga-bunga yang ajaib bermekaran
di langit.
Aku inginkan kamu, tapi kamu
tidak ada.
Sepi menjadi kaca.
Apa yang bisa dilakukan oleh
penyair
bila setiap kata telah dilawan
dengan kekuasaan ?
Udara penuh rasa curiga.
Tegur sapa tanpa jaminan.
Air lautan berkilat-kilat.
Suara lautan adalah suara
kesepian.
Dan lalu muncul wajahmu.
Kamu menjadi makna
Makna menjadi harapan.
……. Sebenarnya apakah harapan ?
Harapan adalah karena aku akan
membelai rambutmu.
Harapan adalah karena aku akan
tetap menulis sajak.
Harapan adalah karena aku akan
melakukan sesuatu.
Aku tertawa, Ma !
Angin menyapu rambutku.
Aku terkenang kepada apa yang
telah terjadi.
Sepuluh tahun aku berjalan tanpa
tidur.
Pantatku karatan aku seret dari
warung ke warung.
Perutku sobek di jalan raya yang
lengang…….
Tidak. Aku tidak sedih dan
kesepian.
Aku menulis sajak di bordes
kereta api.
Aku bertualang di dalam udara
yang berdebu.
Dengan berteman anjing-anjing
geladak dan kucing-kucing liar,
aku bernyanyi menikmati hidup
yang kelabu.
Lalu muncullah kamu,
nongol dari perut matahari
bunting,
jam duabelas seperempat siang.
Aku terkesima.
Aku disergap kejadian tak
terduga.
Rahmat turun bagai hujan
membuatku segar,
tapi juga menggigil
bertanya-tanya.
Aku jadi bego, Ma !
Yaaah , Ma, mencintai kamu adalah
bahagia dan sedih.
Bahagia karena mempunyai kamu di
dalam kalbuku,
dan sedih karena kita sering
berpisah.
Ketegangan menjadi pupuk cinta
kita.
Tetapi bukankah kehidupan sendiri
adalah bahagia dan sedih ?
Bahagia karena napas mengalir dan
jantung berdetak.
Sedih karena pikiran diliputi
bayang-bayang.
Adapun harapan adalah penghayatan
akan ketegangan.
Ma, nyamperin matahari dari satu
sisi,
memandang wajahmu dari segenap
jurusan.
Pejambon, Jakarta, 28 April 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi
SAJAK ANAK MUDA
Oleh :
W.S. Rendra
Kita adalah angkatan gagap
yang diperanakkan oleh angkatan
takabur.
Kita kurang pendidikan resmi
di dalam hal keadilan,
karena tidak diajarkan
berpolitik,
dan tidak diajar dasar ilmu hukum
Kita melihat kabur pribadi orang,
karena tidak diajarkan kebatinan
atau ilmu jiwa.
Kita tidak mengerti uraian
pikiran lurus,
karena tidak diajar filsafat atau
logika.
Apakah kita tidak dimaksud
untuk mengerti itu semua ?
Apakah kita hanya dipersiapkan
untuk menjadi alat saja ?
inilah gambaran rata-rata
pemuda tamatan SLA,
pemuda menjelang dewasa.
Dasar pendidikan kita adalah
kepatuhan.
Bukan pertukaran pikiran.
Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan,
dan bukan ilmu latihan
menguraikan.
Dasar keadilan di dalam
pergaulan,
serta pengetahuan akan kelakuan
manusia,
sebagai kelompok atau sebagai
pribadi,
tidak dianggap sebagai ilmu yang
perlu dikaji dan diuji.
Kenyataan di dunia menjadi
remang-remang.
Gejala-gejala yang muncul lalu
lalang,
tidak bisa kita hubung-hubungkan.
Kita marah pada diri sendiri
Kita sebal terhadap masa depan.
Lalu akhirnya,
menikmati masa bodoh dan santai.
Di
Di dalam kegagapan,
kita hanya bisa membeli dan
memakai
tanpa bisa mencipta.
Kita tidak bisa memimpin,
tetapi hanya bisa berkuasa,
persis seperti bapak-bapak kita.
Pendidikan negeri ini berkiblat ke
Barat.
Di sana anak-anak memang
disiapkan
Untuk menjadi alat dari industri.
Dan industri mereka berjalan
tanpa berhenti.
Tetapi kita dipersiapkan menjadi
alat apa ?
Kita hanya menjadi alat birokrasi
!
Dan birokrasi menjadi berlebihan
tanpa kegunaan -
menjadi benalu di dahan.
Gelap. Pandanganku gelap.
Pendidikan tidak memberi
pencerahan.
Latihan-latihan tidak memberi
pekerjaan
Gelap. Keluh kesahku gelap.
Orang yang hidup di dalam
pengangguran.
Apakah yang terjadi di sekitarku
ini ?
Karena tidak bisa kita tafsirkan,
lebih enak kita lari ke dalam
puisi ganja.
Apakah artinya tanda-tanda yang
rumit ini ?
Apakah ini ? Apakah ini ?
Ah, di dalam kemabukan,
wajah berdarah
akan terlihat sebagai bulan.
Mengapa harus kita terima hidup
begini ?
Seseorang berhak diberi ijazah
dokter,
dianggap sebagai orang
terpelajar,
tanpa diuji pengetahuannya akan
keadilan.
Dan bila ada ada tirani
merajalela,
ia diam tidak bicara,
kerjanya cuma menyuntik saja.
Bagaimana ? Apakah kita akan
terus diam saja.
Mahasiswa-mahasiswa ilmu hukum
dianggap sebagi bendera-bendera
upacara,
sementara hukum dikhianati
berulang kali.
Mahasiswa-mahasiswa ilmu ekonomi
dianggap bunga plastik,
sementara ada kebangkrutan dan
banyak korupsi.
Kita berada di dalam pusaran
tatawarna
yang ajaib dan tidak terbaca.
Kita berada di dalam penjara
kabut yang memabukkan.
Tangan kita menggapai untuk
mencari pegangan.
Dan bila luput,
kita memukul dan mencakar
ke arah udara
Kita adalah angkatan gagap.
Yang diperanakan oleh angkatan
kurangajar.
Daya hidup telah diganti oleh
nafsu.
Pencerahan telah diganti oleh
pembatasan.
Kita adalah angkatan yang
berbahaya.
Pejambon, Jakarta, 23 Juni 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi
SAJAK
BULAN MEI 1998 DI INDONESIA
OLEH :
W.S. RENDRA
Aku tulis sajak ini di bulan
gelap raja-raja.
Bangkai-bangkai tergeletak
lengket di aspal jalan.
Amarah merajalela tanpa alamat.
Ketakutan muncul dari sampah kehidupan